Tentang Cinta

6:49 PM


Nama: Intan Permatasari
Kelas: X2
No.absen: 20

Tentang Cinta

            Vio jatuh cinta. Karenanya ia tak merutuki langit yang mendung. Tak perduli gerimis mulai turun perlahan. Meski biasanya ia membenci hujan. Karena cinta, mendung pun terasa sebagai keindahan.
            Adalah Light, cowok yang tiba-tiba membuat gadis itu kehilangan kata. Membuat langkah ke sekolah terasa ringan. Membuat bel usai sekolah menjadi awal penantian hari esok.
            Gerimis kecil masih turun. Gadis manis berambut sebahu itu melangkah menelusuri koridor sekolahnya. Sengaja melewati koridor A meski untuk itu ia harus berputar di depan ruang guru. Karena di koridor ini ada ruang kelas Light.
            “Vio...” sebuah sapaan.
Pemiliknya berdiri di ambang pintu, bersandar pada satu sisinya. Vio tersenyum, berharap menjadi senyum termanis yang ia miliki.
            “Dari kantin?” tanya Light.
Ujung koridor ini adalah kantin. Sebetulnya Vio tidak dari sana. Meski ia mengangguk juga, agar tidak perlu  mencari alasan kenapa ia melewati koridor ini.
            “Bandana kamu bagus”
Semua orang memuji seperti itu pun tidak bakal berpengaruh pada gadis yang biasanya supercuek ini. Tapi begitu Light memuji, Vio merasa mukanya menyemu. Ucapan terima kasihnya hanya mengambang tanpa suara.
            Sepanjang langkah menuju ruang kelasnya hati Vio bernyanyi. Senyumnya tak pernah luntur dari bibirnya. Tara, teman sebangku gadis itu, memandang penuh takjub. Rambut cepak Vio yang biasanya dia biarkan berantakan, saat itu tersisir rapi berbandana pink. Tas punggung bututnya telah berganti tas bahu coklat muda berbulu halus dengan bandul boneka beruang kecil.
            “Pagi, Tara. Udah ngerjain PR?” sapa Vio. “Kalau belum, kamu boleh nyontek punyaku.”
            Tara bengong. Biasanya setiap ada PR Fisika atau Matematika, Vio akan berteriak histeris mencari contekan pagi-pagi. Tapi sekarang... berubah 180 derajat. Pasti sesuatu yang luar biasa telah terjadi.
            “Biasa aja. Semua orang juga berubah kan?” elak Vio ketika Tara bertanya tentang ketidakbiasaan penampilannya.
            “Nggak sekedar itu, aku yakin.” Bersikukuh Tara. Vio malah tersenyum.
            “Kamu lagi jatuh cinta?” tebak Tara. Vio tersipu. Dan Tara malah tertawa sekeras-kerasnya. Akibatnya semua pemilik mata di ruang kelasnya menoleh penuh tanya ke arah mereka berdua.
            “Aku akan sebarin gosip ini kecuali kamu mau cerita”
            Vio setuju. Toh dia memang ingin bercerita.
            “Kemarin sore aku bertemu Light di Gramedia. Tadinya aku pikir dia nggak mungkin menyapa. Paling kenal juga nggak. Eh, tiba-tiba dia menyapa namaku. Gila, dia tahu namaku!” cerita Vio penuh semangat di pojok kantin sekolah saat istirahat.
            “Light... Kakak kelas kita yang ganteng itu?”
            Vio mengangguk.
            “Terus...”
            “Terus dia ngajak ngobrol. Aku Cuma jadi pendengar setia. Soalnya tiba-tiba aku jadi grogi.”
            Tara menahan tawa. Sebegitu hebatnya cinta hingga bisa mengubah karakter seseorang? Tidak Cuma bikin Vio kembali ke wujud aslinya sebagai cewek yang seharusnya feminim.
            “Tadi aja aku sengaja lewat depan ruang kelas Light di koridor A. Eh, dia menyapaku.”
            “Terus...”
            “Aku Cuma tersenyum. Habis bingung mau gimana.” Vio mengaduk jus alpokatnya yang sedari tadi belum diminum. Tara tidak bisa lagi menahan tawanya. Vio mati gaya di depan cowok!

            Sekarang Vio genit. Dia yang biasanya malas berdandan sekarang betah berlama-lama di depan cermin. Jerawat yang biasanya tak pernah menjadi masalah sekarang seperti ada bencana hebat. Berbagai produk kosmetik kini ada laci meja belajarnya.
            Di setiap kegiatan sekolah di mana Vio biasanya terlibat, kini mulai berkurang, kecuali untuk kegiatan yang juga diikuti Light. Atau setidaknya jadwalnya bersamaan dengan jadwal kegiatan Light. Untuk urusan satu ini, Vio dapat dengan mudah memperoleh informasinya.
            Satu hal lagi, Vio sekarang suka melamun. Bahkan ketika Pak Syamsul tengah mengajarkan rumus-rumus fisika, gadis itu malah asyik menulis puisi cintanya. Pada Tara gadis itu berikrar, Light harus jadi pacarnya. Pasti!

            Sore ini Vio disuruh ibunya ke rumah tante Lina mengantarkan undangan tasyakuran. Angin berhembus sedikit keras mengacaukan poni rambutnya. Gadis itu melangkah ringan menelusuri trotoar jalan setelah turun dari angkot.
            Intan, anak tante Lina, yang membukakan pintu.
            “Tumben nih mau main. Biasanya sibuk melulu” ledek Intan. Vio tersenyum, mengikuti sepupunya itu duduk di kursi rotan teras. “Aku sedikit pangling lho. Biasanya kamu nggak suka pakai rok kaya gini. Kamu makin manis kok pakai rok.”
            Vio tersipu. “Makasih. Aku disuruh Mama nganterin undangan untuk Tante, Tante ada kan?”
            “Mama lagi ke rumah sakit, menjenguk tetangga. Aku juga sebentar lagi mau pergi. Kamu ikut aku aja ya?” ajak Intan.
            “Ke mana?”
            “Pacarku ngajakin nonton pementasan teater. Ikut ya? Toh kamu juga udah kenal pacarku.” Bujuk gadis itu.
            “Pacarmu?”
            “Iya. Satu sekolahan sama kamu. Malah katanya sering menyapa kamu meski katanya kamu nggak negur duluan.”
            “Light?’ duga Vio, waswas. Dan tiba-tiba dadanya terasa nyeri ketika kepala di hadapannya mengangguk. Terlebih ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah dan pengemudinya turun.

            Vio patah hati. Karenanya ia merutuki langit yang membiarkan matahari begitu panas memanggang kepala. Karenanya ia tak suka melihat senyum dan keceriaan di wajah orang-orang yang terasa seperti mengolok-olokinya. Karena patah hati, keceriaan pun terasa begitu menyakitkan.
            “Itu resiko jatuh cinta Vi.”
            Mudah bagi Tara untuk bicara begitu. Karena gadis itu tidak merasai bagaimana harapan dan mimpi-mimpi kandas begitu saja oleh kenyataan.

You Might Also Like

0 comments